Namun untuk nomor yang benar-benar saya gunakan sebagai sarana komunikasi dengan kolega, saya menggunakan dua operator terkemuka t**k****l dan e****c*****o. Dari dua operator itu, e****c*****o saya jadikan sebagai nomor utama, sedangkan t**k****l yang saya sematkan pada ponsel lama yang sudah menemani saya selama hampir sepuluh tahun itu (hanya ponselnya yang berusia 10 tahun), saya biarkan nongkrong dirumah, karena malasnya saya jika harus menenteng dua ponsel sekaligus. Juga tak terbersit dalam pikiran saya untuk menggunakan ponsel China yang kebetulan dual on GSM itu. Untuk operator favorit saya, e****c*****o, sudah menemani saya sejak 10 tahun yang lalu, sedangkan t**k****l telah menemani saya hampir 3 tahun lamanya. Itupun disebabkan keterpaksaan saya karena “special someone” pada saat itu yang mengharuskan saya untuk mempunyai t**k****l untuk mempermudah komunikasi sehari-hari. Diluar itu, saya selalu ingin mencoba jika ada operator baru yang muncul, yang berani berspekulasi dengan ketatnya persaingan yang telah dirajai oleh tiga operator raksasa pendahulunya.
Berdasarkan pengamatan secara amatir terhadap layanan operator-operator itu, ada pengalaman-pengalaman buruk yang saya rasakan. Bahkan karena buruknya layanan, membuat saya menjadi tertawa sinis, bukannya marah, lhohh..koq bisa? Kebetulan saya juga mempunyai hobi komplain ketika saya direpotkan oleh pelayanan buruk mereka.
Berikut pengalaman-pengalaman buruk yang pernah saya rasakan ketika menggunakan jasa telekomunikasi dari operator-operator tersebut. Dulu adik saya menggunakan t**k****l sebagai sarana telekomunikasi, memang kebetulan satu-satunya operator yang hadir disana dan sanggup memunculkan sinyal ponsel pada saat adik membeli ponsel (8 tahun yang lalu) adalah t**k****l. Suatu saat ada family (adik laki-laki dari nenek saya) meninggal, dan mau tidak mau saya harus memberi kabar melalui ponsel, karena terbentur jarak yang lumayan jauh dari tempat tinggal saya. Busyettt, memang sejak beberapa minggu sebelumnya sinyal t**k****l di daerah adik lumayan amburadul, tak terkecuali pada saat itu, saya hubungi berkali-kali hingga tak terhubung sama sekali! Hingga adik tidak sempat menghadiri prosesi pemakaman sang kakek tersebut. Dilain hari saya sempat komplain dengan CS dari operator t**k****l tersebut, enteng saja jawabnya, “Maaf pak, sinyal disana baik-baik aja. Koq baru bapak aja yang komplain demikian.” Hingga akhirnya saja juga menjawab dengan enteng, “Ya OK kalau begitu mbak, ntar saya suruh adik saya mematah-matahkan chip t**k****l nya dan saya suruh ganti dengan oparator lainnya (e****c*****o yang kebetulan juga sudah hadir disana)”. Tak ada sepatah katapun dari sang CS yang pada saat setelah saya berkata demikian, suaranya hampir terbata-bata, tak tau juga aku kenapa dengan si embak itu. Akhirnya adik pun berganti dengan e****c*****o. Eeeehh, ternyata kasus serupa (amburadulnya sinyal) juga terjadi pada e****c*****o. Saya langsung komplain sama si embak CS. Weeehh, ternyata si embak e****c*****o dengan sigap langsung meneruskan komplain saya pada bagian teknik. Dan dilain haripun saya ditelepon secara langsung oleh e****c*****o jika sinyal di daerah adik saya telah diperbaiki, dan saya diminta untuk mencoba menelepon adik saya apakah masih ada gangguan sinyal apa tidak. Hebattt, pelayanan macam apa pula ini, two thumbs up!
Oh ya, ada yang lupa, saya juga ingin menegaskan jika nomor t**k****l yang saya gunakan saat ini “tidak merasa didaftarkan diri” pada sang operator! Padahal pada saat saya mengaktifkan untuk pertamakalinya, proses registrasi sudah saya lakukan. Bahkan dapat PIN registrasi segala (kebetulan PIN registrasi telah terhapus dari memori ponsel). Kaget bukan kepalang ketika saya ingin minta bantuan CS t**k****l untuk mengaktifkan 3G saya (kebetulan 3G saya tidak mau aktif, meski saya selalu berhasil mengaktifkan fitur 3G milik orang lain), dimana bapak CS yang kalemnya minta ampun tersebut menjelaskan bahwa kartu saya belum diregistrasi. Whaattt..!!! Bagaimana mungkin nomor yang telah aktif selama tiga tahun belum diregistrasi, padahal syarat utama nomor ponsel bisa digunakan untuk berkomunikasi adalah dengan meregistrasinya. Lha terus data pribadi saya lari kemana? Pertanyaan itulah yang terlontar dari mulut saya ke bapak CS itu. “Tidak lari kemana-mana pak”, katanya lemah lembut. Namun kelembutan itu berubah menjadi omongan yang terbata-bata ketika saya emosi dan mendesak CS itu untuk mengakui bahwa sistem yang ada pada operatornya memang jelek! Entah sambungan saya terputus atau memang sengaja diputus aku juga tak tau, tiba-tiba sambungan percakapanku hilang. Kucoba lagi telepon ke CS lainnya, bapak CS yang satunya juga mengatakan hal yang sama jika kartu SIM ku belum diregistrasi! Akhirnya kudamprat mereka berdua, dan kudesak supaya mereka mengakui jika sistem yang ada pada operatornya jelek. Untungnya aku tidak punya penyakit darah tinggi…uuuhhhhh…gila!
e****c*****o yang kubangga-banggakan pun tak luput dari komplain mujarabku. Ketika itu muncul SMS yang menginformasikan jika aku kena charge 7 ribu rupiah untuk melanjutkan aktivasi RBT (Ring Back Tone/nada sambung pribadi), karena sejak sebulan sebelumnya aku telah diberi gratis. Whattt..!!! Aku paling tidak suka untuk mengaktifkan RBT pada ponselku, namun secara sepihak e****c*****o telah mengaktifkannya tanpa aku ketahui. Lagunya jelek pula! Pantesan kolega-kolega yang menelepon aku pada nyengir mendengar lagu RBT ku. Kutelepon CS e****c*****o, kuminta untuk menonaktifkan RBT itu dari nomorku, segera! Kataku. Aku tidak mau menonaktifkan sendiri melalui cara-cara apapun, dan saya menyuruh CS itu langsung menonaktifkan dari sistem e****c*****o. Dengan permintaan maaf dan kata-kata yang terbata-bata, si embak CS menuruti perintahku. Dan tak lupa, kuminta uang tujuh ribuku yang direbut paksa oleh e****c*****o. Meski 7 ribu, itu hakku. Ya harus dikembalikan lagi pulsa 7 ribu itu ke nomorku, pintaku. Hahaha, 2 hari kemudian si pulsa 7 ribu sudah nongol di ponselku!
Hal yang hampir sama terulang lagi dengan e****c*****o kebanggaanku. Kali ini aku yang telah registrasi paket bicara dan SMS, dimana aku diberi jatah SMS dan bicara gratis, ternyata kena charge juga ketika aku menelepon ke sesama operator. Sebagai hobi komplain, dengan sigap ku sambangi embak atau bapak CS e****c*****o. Mereka juga tak tau mengapa pulsaku terpotong untuk menelepon sesama operator. Padahal jatah waktu bicara gratisku belum pernah terpakai. Disuruhnya aku yang “agak melek” masalah telekomunikasi ini untuk merestart ponselku. Lho, apa hubungannya? Ahh, pusing amat, kuturuti saja permintaan mbak CS yang suaranya sangat cantik tersebut, yang kemungkinan juga parasnya seimut dan secantik suaranya . Kucoba telepon kembali ke sesama operator, weee ternyata kena charge lagi. Akupun komplain lagi. Nasehat yang sama untuk merestart ponselku juga terlontar dari mulut si embak satunya. Kali ini tak kuturuti untuk merestart ponselku lagi. Memangnya aku bodoh? Dan komplainku tentang terpotongnya pulsa juga akan diteruskan ke bagian terkait. Meski total terpotongnya pulsa “Cuma” 4 ribu saja, uang itu pun kuminta. Ya, seperti sebelumnya, uang 4 ribu itu hakku. e****c*****o tak punya hak sama sekali terhadap uangku tersebut. Dan, 2 hari kemudian 4 ribu itu sudah nongol di ponselku. Heemmmm….
Ketika operator a**s muncul di kotaku, segera kucoba pelayanan operator baru ini. Aplagi a**s menawarkan bonus kuota internet yang memang menggiurkan, dimana pada saat itu layanan internet terasa masih mahal bagi kebanyakan orang. Dan aku merasa bahwa a**s lah sebagai dewa penolong untuk berinternet ria. Kubeli sekalian 3 buah kartu perdana supaya koneksi internetku mampu bertahan lamaaa…hahaha… Kartu pertama pun kuaktifkan, it’s fine, lancar-lancar aja. Dan begitupun yang kedua. Berbeda dengan kartu yang pertama dan kedua yang hanya aku jadikan kartu percobaan semata, kartu perdana yang ketiga ini ingin aku jadikan nomor utama yang akan kupelihara untuk mengakses koneksi internet saja. Tak lupa besok malamnya ku isi pulsa 10 ribu untuk menunjukkan jika aku serius untuk menjadikan a**s sebagai kartu berinternet ria. Kumasukkan 14 digit nomor rahasia yang tertera dibalik gosokan bagian belakang kartu isi pulsa. Peringatan kesalahan pengetikan angka muncul pada layar ponselku. Kedua kalinya juga dinyatakan salah. Padahal aku telah measukkan nomor kode 14 digit itu secara benar! Hingga ketiga kalinya, nomor a**s ku menjadi bermasalah karena tidak bisa untuk menelepon keluar, tak terkecuali untuk menelepon Call Center operator. Kupakai nomor a**s lain yang kebetulan masih ada sedikit sisa pulsa hingga aku tersambung ke bagian Call Center. Si embak berkata bahwa nomorku kemungkinan terblokir karena aku 3 kali salah memasukkan kode. Salah gimana, kataku. Mataku belum rabun untuk membaca kode 14 digit itu. Ah, ada-ada saja. Dan kutanya apakah kartu isi pulsa yang kumasukkan sudah pernah dipakai oleh orang lain apa tidak, seraya kutunjukkan kode barcode yang terpampang pada kartu itu. “Belum pak”, kata si embak. Lhoh, kalau memang belum, kenapa setiap kuketik selalu ditolak. Pasti sistem si operator baru lahir ini lagi eror ya. Aku nggak mau tahu, aku dalam posisi benar, dan kuminta nomor ponselku yang kata si embak kemungkinan sudah terblokir, untuk diaktifkan kembali, karena itu bukan kesalahan saya, melainkan kesalahan dari si a**s itu. Kebetulan pada saat itu saya bekerja di sebuah counter ponsel yang cukup bonafit di kotaku. Dengan sedikit bualan, kukatakan bahwa counter saya sebagai frontliner dari produk-produk operator ponsel, termasuk a**s yang masih dalam status coba-coba mencari celah pasar dikotaku. Kukatakan juga jika fakta yang terjadi pada a**s memang demikian, ya terus terang saja kasus ini kukatakan sejujurnya pada pelanggan saya. Kalau memang statusnya sebagai air comberan, kenapa saya harus mengatakan bahwa itu kolam susu? Maka si embak pun meminta saya untuk menunggu seraya si embak konsultasi entah dengan supervisornya atau siapa akupun tak tahu juga. Tak berselang lama, aku disuruh mengaktifkan kembali nomorku yang “katanya” telah hangus itu. Kuturuti juga kata-katanya, ternyata benar juga, kartuku telah aktif kembali disertai dengan jumlah pulsa 10 ribu yang sebelumnya gagal kumasukkan kedalam nominal pulsaku. Pelanggan tidak harus selalu kalah bung….hahahaha…
Oh iya ya, maaf kalau Anda membaca tulisan saya ini serasa bergoyang-goyang, karena itu bukan karena kepala Anda yang sakit, melainkan koneksi internet saya yang terseok-seokkk…Kebetulan saat ini saya menggunakan operator “simbol angka” sebagai sarana koneksi internet. Menurut saya sih yang paling murah untuk sementara ini, apalagi diberi embel-embel unlimited segala! Pertamakali diluncurkan sih cepetnya minta ampun, meski hanya puas dengan sinyal EDGE. Maklumlah 3G dan HSDPA sepertinya enggan mengepakkan sayapnya dikotaku. Yah, meski cukup puas dengan t**k****l saja yang nongkrong dengan sinyal 3G maupun HSDPA nya! Tapi tarif internetnya mahalll..!!! Mending memilih operator “simbol angka” menurutku. Apalagi aku telah merekomendasikannya ke banyak kolega maupun kenalan yang punya hobi konsultasi masalah IT sama aku, sekalian ngeset modem di PC/laptop mereka. Akhirnya beramai-ramai pula orang-orang disekitarku berinternet ria dengan operator ini. Ternyata bertambahnya jumlah pelanggan tak diiringi dengan peningkatan kapasitas server data untuk menampung koneksi data para pelanggan yang mulai bejibun ini. Hingga koneksi internet yang sebelumnya “wes ewes ewes” (seperti kata alm. Pelawak Basuki) ini, kini terasa terseok-seok untuk membuka halaman demi halaman web. Aduh, gimana ini. Padahal dunia internet adalah kebutuhanku. Tak kuat dengan tragedi ini, sekitar dua bulanan lalu, pernah kukomplain ke CS operator “simbol angka”. Kukatakan bahwa, jika nasib “simbol angka” tidak ingin seperti operator CDMA “si cerdas” yang sebelumnya juga bermain di internet murah (bisa diibaratkan sebagai beras RASKIN, dimana bentuk fisiknya juga beras namun tak tahu dengan bagian dalam dari bentuk fisik beras itu.. ), maka perbaiki kualitas koneksi segera. Lihat saja, operator “si cerdas” yang dulu koneksinya juga secepat kilat, akhirnya merambat bak bekicot, hingga para pelanggan (termasuk saya) mencoba hengkang pindah ke operator lain yang lebih murah dan lebih cepat. Dan entah karena komplain saya atau komplain pelanggan lain juga, akhirnya tak berapa lama koneksi internet “simbol angka” lancar kembali. Eeehh, sekarang malah kumat lagi penyakit lemotnya..!! Makanya Anda agak bergoyang-goyang membaca tulisan saya.
Tak terkecuali dengan operator “berwarna kuning” juga. Akupun pernah komplain karena pulsaku diberangus hingga tak bersisa. Hingga dengan kesal aku berujar akan melaporkannya ke BRTI karena ia tidak fair. Ahh, BRTI, padahal kenal sama orang BRTI aja aku gak kenal, sok banget aku…hahaha…dan, kisah buruk ini, kisah buruk itu, kisah buruk yang…ah, aku sampai lupa untuk mengingatnya saking banyaknya kasus-kasus operator yang menyepelekan hak-hak konsumen yang notabene juga membesarkan nama dan margin keuntungannya.
Mending pemerintah harus…ah, mending juga nggak usah menyangkut pautkan pemerintah dengan masalah ini, apalagi pemerintah sedang dipusingkan dengan permasalahan bangsa yang tiada hentinya memainkan sandiwara dengan lakon dan tema yang berbeda-beda…Hmmmm, mending kita tanyakan saja semua solusinya pada rumput yang bergoyang. Betul juga kata Om Ebiet G. Ade.